Selain Perselingkuhan, Ini Kata Psikolog Tentang Kehadiran Orang Ketiga

Senin, 14 Januari 2019 15:38



Psikolog Hattmadi Abdullah mengatakan, kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga terutama yang berniat melakukan tindak kriminal harus diwaspadai.

Pasalnya ada sebagian orang ketiga yang punya maksud lain di balik perilaku perselingkuhannya, yakni untuk mendapatkan materi.

"Ini berbeda sekali dengan kehadiran orang ketiga karena hati. Sebagai konsultan, saya bisa dengan mudah menebak, kehadiran orang ketiga yang didasarkan pada hati, sejatinya cermin bahwa kehidupan berumah-tangganya ada masalah," kata Hattmadi seperti dilansir Antaranews.com, Minggu (13/1/2019).

Sedangkan kehadiran orang ketiga dengan motif kriminal, kata Hattmadi, solusinya hanya satu adalah laporkan ke polisi.

"Itu tidak sulit sama sekali karena ada deliknya," kata Hattmadi.

Tika menilai upaya untuk menjerat laki-laki beristri agar tertarik pada pelaku, lalu dijadikan sebagai korban pemerasan dan memanfaatkan posisinya sebagai orang ketiga adalah salah satu modus operandi pelaku kejahatan ini yang tengah berkembang di masyarakat. Korbannya, menurut Hattmadi, umumnya adalah pria mapan.

"Ia (korban) bisa pengusaha, pejabat atau profesi mapan lain yang sangat mementingkan reputasi. Jika berhasil masuk perangkap, tipe-tipe pria mapan ini sangat rentan jadi objek pemerasan. Karena itulah polisi harus masuk dan masyarakat harus tahu," kata Hattmadi.

Tindakan tegas aparat kepolisian terhadap  praktik  pemerasan  dengan  modus  menjadi  orang  ketiga, diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku, dan peringatan bagi para pria mapan agar waspada.


"Karena itu, banyak orang yang menjadi korban wanita berkedok orang ketiga, tetapi tidak mau mengungkapkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah pertimbangan pendek. Biasanya menghindari aib, atau khawatir mempengaruhi karier. Itu pertimbangan keliru," ucap Hattmadi.


Menurut dia, siapa pun yang sudah terlanjur terlibat dengan persoalan orang ketiga harus memiliki niat untuk mempertahankan keutuhan keluarga dalam jangka panjang.

“Rasa malu, aib, bahkan karier menjadi tidak penting jika dibandingkan keselamatan keluarga ke depan,” kata dia.

Hattmadi menegaskan pentingnya bagi pasangan untuk berkonsultasi ke pakar psikologi perkawinan.

Tujuannya adalah untuk kembali membangun kesepakatan bersama. Ia mengibaratkan kegiatan tersebut seperti menekan tombol reset pada komputer.

"Di sinilah fase ujian suami dan istri sebagai pasangan. Apakah istri bisa menerima suami ketika lemah. Atau, apakah suami bisa menerima istri saat lemah,” kata Hattmadi.

Di fase konsultasi, keduanya harus jujur, dan jujur itu adalah bagian terberat.

"Jangan berlindung di balik dalih dikerjain, dikejar-kejar, tetapi faktanya setelah makan malam pertama, masih ada makan malam kedua, ketiga, bahkan kemudian sarapan dan makan siang," kata Hattmadi.

Atau dengan kata lain, kata Hattmadi, tidak mungkin pihak luar bisa membuka pintu pribadi kita, kalau tidak dikasih kunci. Itu logika.

Berdasar teori psikologi, maupun berdasar pengalaman Hattmadi sebagai psikolog, fase konseling pasangan yang usai dilanda persoalan orang ketiga, sangat penting untuk memiliki pemahaman bahwa kedua belah pihak harus sama-sama mau berubah.

"Lepas dari kadar besar-kecil, kasus orang ketiga terjadi karena kesalahan tiga orang sekaligus. Orang ketiga salah, suami salah, istri salah. Ini akan terbuka dalam sesi konsultasi," kata Hattmadi.

Jika suami-istri jujur dan bersedia me-reset hubungan, kata Hattmadi, bukan tidak mungkin akan menimbulkan katarsis. Menumbuhkan hal-hal positif yang justru memperkuat ikatan pernikahan ke depan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERTIMBANGAN PENENTUAN PENGENDALI KEUANGAN KELUARGA: SEBUAH ANALISA NILAI PERAN GENDER DALAM INTERAKSI PASANGAN SUAMI ISTRI

Psikologi Keluarga