PERTIMBANGAN PENENTUAN PENGENDALI KEUANGAN KELUARGA: SEBUAH ANALISA NILAI PERAN GENDER DALAM INTERAKSI PASANGAN SUAMI ISTRI
Hattmadi Bakrie Abdullah, M.Psi
Ahli Psikologi
Ikatan perkawinan merupakan ikatan yang sakral yang diatur oleh undang-undang
negara dan termaktub dalam norma budaya serta ajaran agama. Perkawinan bukan
semata-mata untuk kebutuhan biologis tetapi juga untuk pemenuhan aspek psikologis,
yang meliputi kebutuhan cinta kasih, rasa aman, perlindungan dan sebagainya (Hawari,
1997). Selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan sosial yakni terbentunya keluarga
yang bahagia. Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat,
tetapi peran keluarga dalam masyarakat bahkan negara sangat penting. Keluarga berfungsi
sebagai garda depan pendidik generasi bangsa. Ada lima fungsi yang dapat dijalankan
keluarga, yaitu: 1). Fungsi biologis: Untuk meneruskan keturunan, memelihara dan
membesarkan anak, dan memelihara serta merawat anggota keluarga; 2). Fungsi
psikologis: memberikan kasih sayang dan rasa aman , perhatian, dan pendewasaan
kepribadian pada anggota keluarga; 3). Fungsi sosialisasi: Membina bersosialisi pada
anak, dan pembentukan norma serta nilai budaya pada anak-anak; 4). Fungsi ekonomi:
Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan mengatur
penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 5) Fungsi
pendidikan: memberikan pengetahuan, ketrampilan dan membentuk perilaku anak sesuai
dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa
2
yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa, mendidik anak
sesuai dengan tingkat -tingkat perkembangannya.
Begitu penting fungsi dan peran keluarga, diperlukan sebuah managemen untuk
membina kelangsungan dan keharmonisan keluarga. Untuk mengemban fungsi
managemen tersebut, umumnya sebuah keluarga mempunyai pola-pola manageman
tersendiri. Pola managemen keluarga terkait dengan nilai dan budaya. Misalnya dalam
budaya patriarkhi, seorang suami merupakan pemimpin sebuah ikatan perkawinan. Suami
merupakan figur sentral dalam keluarga dan sebaliknya istri sebagi figur yang marginal,
sehingga istri dalam keluarga hanya sebagai pelayan keluarga.
Posisi suami dan istri dipengaruhi oleh peran jenis. Peran laki-laki dan perempuan
merupakan peran yang berbentuk dari faktor sosial. Dengan kata lain peran perempuan
dan laki-laki dikendalikan oleh masyarakat dan peran jenis mengkristal menjadi norma
masyaakat. Konsekwensi dari sebuah norma, maka peran akan menjadi panduan perilaku
anggota masyarakat. Masyarakat akan menghukum anggotanya jika mereka berperilaku
tidak sesuai dengan norma yang berjalan di masyarakat, termasuk dalam norma
perkawinan dan keluarga
Banyak studi tentang perkawinan telah mengabaikan peran gender dalam
penelitian kualitas perkawinan dari waktu ke waktu, Teori feminis merupakan sumber teori
berbasis kepuasan perkawinan digunakan sebagai kerangka teoretis untuk menguji efek
dari peran gender pada perubahan kepuasan dan konflik perkawinan bagi suami dan
istri(Brown, 1994). Teori feminis digunakan sebagai kerangka kerja untuk memahami arti
dan pentingnya gender.
Dua pendekatan teoretis yang telah mendominasi studi gender (Levant & Philpot,
2001), yaitu esensialisme (paradigma identifikasi peran gender) dan konstruksionisme
(paradigma gender role strain). Dalam studi awal paradigma identifikasi peran gender,
berasal dari pandangan esensialis atau nativist peran seks, yang menekankan ide bahwa
ada gender maskulin atau feminin yang jelas berbeda dan ditentukan secara biologis. Baru - baru ini, ilmuwan gender (Levant & Philpot, 2001) berpendapat bahwa teori ini
mengabaikan pentingnya faktor sosial dan lingkungan dalam membentuk gender. Peran
paradigma identitas gender telah ditentang karena menunjukkan bahwa individu mendapat
peran gender tradisional mereka (pengertian tradisional menjadi maskulin atau feminin).
Sebaliknya, studi yang didasarkan pada paradigma gender role strain, yang muncul
dari konstruksionisme. Pendekatan ini melihat peran gender sebagai sebagian besar
3
dibangun secara psikologis atau sosial, dan tidak semata-mata ditentukan secara biologis.
Perbedaan teoritis penting adalah bahwa meskipun ada perbedaan biologis antara laki-laki
dan perempuan, banyak yang secara sosial dibangun oleh budaya patriarki dan
memperkuat peran gender tradisional untuk menjaga perempuan dalam satu posisi. Peran
gender sebagai suatu pembiasaan (conditioning) masyarakat terhadap anak perempuan
dan anak laki-laki. Anak laki-laki diajarkan untuk mandiri, berinisiatif mengambil tindakan,
berorientasi pada tugas, rasional dan analitis sedangkan anak perempuan dididik untuk
mampu berempati, bersifat non kompetitif, dan intuitif, tergantung dan penolong. Standar
tersebut terus menerus dijadikan patokan dari perilaku yang normal serta tetap menjadi
tuntutan masyarakat terhadap orang yang sudah dewasa sekalipun (Mac Kinnon, 1979;
Bem 1981). Peran jenis mempunyai implikasi pada banyak hal antara lain, kehidupan dalam
pernikahan, keluarga, kepemimpinan, dan penilaian keadilan.
Teori feminis dari Brown (1994) mengedepankan kesadaran perbedaan kekuasaan
yang terkait dengan gender. Pembagian kerja rumah tangga merupakan salah satu sumber
ketidakadilan gender (Brown, 1994). Hochschild (1989) mengatakan bahwa perempuan
yang bekerja di luar pekerjaan rumah sebagai “shift kedua" karena sering setelah
bekerjakan pekerjaan “full-time”, kemudian perempuan secara lebih in-proporsional
menghadapi tuntutan tambahan merawat rumah dan anak-anak. Pembagian kerja rumah
tangga jatuh dalam peran gender tradisional, istri melakukan proporsi jauh lebih besar dari
tugas-tugas rumah tangga dari suami, bahkan di rumah tangga di mana sang istri
memperoleh lebih dari suaminya (Greenstein, 1995). Dalam studinya tentang kepuasan
perkawinan antara perempuan bekerja, Greenstein (1995) menemukan bahwa peran
gender dipengaruhi hasil identifikasi terhadap kepuasan perkawinan. Jam bekerja per
minggu tidak memiliki efek yang secara statistik signifikan bagi perempuan memegang
peran tradisional gender ideologi, tapi memiliki efek negatif terjadi pada stabilitas
perkawinan bagi perempuan mengidentifikasi dengan ideologi gender non-tradisional atau
berkelamin dua peran. Demikian pula dalam penelitian mengeksplorasi perubahan sikap
peran gender.
Amato dan Booth (1995) menemukan bahwa ketika istri menganut sikap peran gender
tradisional, mereka kurang merasakan penurunan kualitas perkawinan mereka, namun
ketika suami mengadopsi sikap non tradisional, mereka dianggap meningkatkan kualitas
perkawinan. Dalam pembahasan mereka, para penulis ini berhipotesis bahwa sebagai istri
menjadi kurang tradisional lebih egaliter "mereka mungkin merasa bahwa mereka yang
kurang beruntung atau dieksploitasi dan menjadi kurang puas dengan pernikahan mereka
4
dalam bentuk perilaku, mereka mungkin menuntut kekuatan pengambilan keputusan lebih
atau tekan suami mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu melakukan pekerjaan
rumah tangga dan pengasuhan anak, karena keuntungan status quo laki-laki, banyak suami
menolak perubahan ini. Jadi ketika sikap istri 'menjadi lebih progresif, ada kemungkinan
menjadi lebih terbuka konflik antara pasangan dan stabilitas kurang dalam hubungan itu
"(Amato & Booth, 1995; 58). Amato dan Booth (1995) menganggap bahwa implikasi dari
sikap peran gender merupakan oposit untuk suami, hipotesa bahwa ketika suami
mengadopsi nilai progresif dan sikap egaliter akan mengurangi konflik terbuka antara
pasangan dan memunculkan stabilitas hubungan perkawinan.
Selain tugas rumah tangga, secara tradisional perempuan juga telah menerima
tanggung jawab lebih untuk penitipan anak dan tugas mengasuh anak (Steil, 1997).
Sementara suami telah menunjukkan tidak memiliki efek negatif terhadap suami
kesejahteraan, pengasuhan sering berhubungan dengan berkurangnya kesejahteraan untuk
istri (Steil, 1997). Dari perspektif feminis, perbedaan ini dapat dikaitkan dengan
ketidakadilan gender untuk laki-laki dan peran perempuan dalam masyarakat yang kondisi
perempuan lebih mungkin memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anak-anak.
Simon (1995) meneliti persepsi laki-laki dan perempuan kerja dan peran keluarga. Pria
dan perempuan diminta untuk menjelaskan makna menjadi ibu atau ayah yang “baik”.
Simon (1995) menemukan bahwa untuk pria, dianggap menjadi ayah yang baik jika mampu
memberikan nafkah sementara beberapa perempuan sebagai ibu yang baik jika terlihat
bertanggung jawab dalam pekerjaan dan melaksakan kewajiban utamanya untuk keluarga.
Dari perspektif feminis, peran gender pengaruh perbedaan dalam cara laki-laki dan
perempuan mengelola konflik. Perempuan lebih mungkin untuk memulai diskusi tentang isuisu yang berhubungan konflik (Gottman, 1999).
Masih banyak kebingungan tentang pola interaksi dengan perkawinan, hal ini
disebabkan, penelitian psikologi sosial tidak akan pernah lepas dari kontek sosial individu.
Untuk itu perlu pendekatan yang lebih mampu mengeksplorasi nilai-nilai dan pandangan
anggota keluarga, khususnya suami dan istri, dalam menjelaskan kehidupan perkawinan,
yaitu dengan mengeksplorasi pikiran dan sikap responden tentang hubungan keluarga
terutama pada faktor peran ekonominya.
Komentar
Posting Komentar